Jumat, 24 September 2010

3 pondasi kebahagiaan

Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,
“Ada tiga pokok yang menjadi
pondasi kebahagiaan seorang
hamba, dan masing-masingnya
memiliki lawan. Barangsiapa
yang kehilangan pokok tersebut
maka dia akan terjerumus ke
dalam lawannya. [1] Tauhid,
lawannya syirik. [2] Sunnah,
lawannya bid ’ah. Dan [3]
ketaatan, lawannya adalah
maksiat. Sedangkan ketiga hal
ini memiliki satu musuh yang
sama yaitu kekosongan hati dari
rasa harap di jalan [ketaatan
kepada] Allah dan keinginan
untuk mencapai balasan yang
ada di sisi-Nya serta ketiadaan
rasa takut terhadap-Nya dan
hukuman yang dijanjikan di sisi-
Nya. ” (al-Fawa’id, hal. 104)
Tauhid Mengantarkan Menuju
Bahagia
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuri
iman mereka dengan kezaliman/
syirik, mereka itulah yang akan
mendapatkan keamanan dan
mereka itulah orang-orang yang
diberikan petunjuk. ” (QS. al-
An’aam: 82). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya
Allah mengharamkan neraka
atas orang yang mengucapkan
la ilaha illallah dengan ikhlas
mengharapkan wajah
Allah. ” (HR. Bukhari dan
Muslim). Abdullah Ibnu Mubarak
rahimahullah berkata, “Betapa
banyak amalan kecil menjadi
besar karena niat (yang ikhlas),
dan betapa banyak amalan
besar menjadi kecil karena niat
(yang tidak ikhlas). ”
Syirik Mengantarkan Menuju
Sengsara
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya
barangsiapa yang
mempersekutukan Allah maka
sungguh Allah haramkan
atasnya surga dan tempat
tinggalnya adalah neraka, dan
tiada seorang penolongpun bagi
orang-orang yang zalim
itu. ” (QS. al-Maa’idah: 72).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“ Barangsiapa yang berjumpa
dengan Allah dalam keadaan
mempersekutukan Allah dengan
sesuatu apapun maka dia pasti
masuk neraka. ” (HR. Muslim).
Sunnah Mengantarkan Menuju
Bahagia
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Katakanlah
(Muhammad); Jika kalian
mencintai Allah, maka ikutilah
aku, niscaya Allah akan
mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosa
kalian. ” (QS. Ali Imran: 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Islam itu
datang dalam keadaan asing
dan akan kembali menjadi asing
sebagaimana datangnya, maka
beruntunglah orang-orang yang
asing. ” (HR. Muslim). Imam
Malik rahimahullah berkata,
“ Sunnah adalah [laksana]
bahtera Nabi Nuh, barangsiapa
yang menaikinya akan selamat,
dan barangsiapa yang tertinggal
akan tenggelam. ”
Bid’ah Mengantarkan Menuju
Sengsara
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang
menentang rasul setelah jelas
baginya petunjuk dan dia justru
mengikuti selain jalan orang-
orang beriman, niscaya akan
Kami biarkan dia terombang-
ambing dalam kesesatannya dan
Kami pun akan memasukkannya
ke dalam Jahannam, dan
sesungguhnya Jahannam itu
adalah seburuk-buruk tempat
kembali. ” (QS. an-Nisaa’:
115). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sejelek-jelek urusan adalah
yang diada-adakan -dalam
agama-, [dan setiap yang diada-
adakan itu adalah bid'ah] dan
setiap bid ’ah pasti sesat [dan
setiap kesesatan di neraka]
. ” (HR. Muslim, tambahan
dalam kurung dalam riwayat
Nasa’i)
Ketaatan Mengantarkan Menuju
Bahagia
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang
taat kepada Allah dan rasul-Nya
sungguh dia akan mendapatkan
keberuntungan yang sangat
besar. ” (QS. al-Ahzab: 71).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Semua
umatku pasti masuk surga,
kecuali yang enggan. ” Para
sahabat pun bertanya,
“ Siapakah orang yang enggan
itu wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab, “Barangsiapa
mentaatiku masuk surga dan
barangsiapa yang
mendurhakaiku maka dialah
orang yang enggan itu. ” (HR.
Bukhari). Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma berkata,
“Allah menjamin bagi siapa
saja yang membaca al-Qur’an
dan mengamalkan ajaran yang
ada di dalamnya bahwa dia
tidak akan sesat di dunia dan
tidak akan celaka di akherat. ”
Kemaksiatan Mengantarkan
Menuju Sengsara
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang
durhaka kepada Allah dan rasul-
Nya sungguh dia telah tersesat
dengan kesesatan yang amat
nyata. ” (QS. al-Ahzab: 36).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Surga
diliputi dengan perkara-perkara
yang tidak disenangi nafsu
(ketaatan) sedangkan neraka
diliputi dengan perkara-perkara
yang disenangi nafsu
(kemaksiatan). ” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hilangnya Harapan dan Rasa
Takut
Sementara ketiga hal di atas -
tauhid, sunnah, dan ketaatan-
memiliki satu musuh yang sama
yaitu ketiadaan rasa harap dan
rasa takut. Yaitu ketika seorang
hamba tidak lagi menaruh
harapan atas apa yang Allah
janjikan dan tidak menyimpan
rasa takut terhadap ancaman
yang Allah berikan. Akibat
ketiadaan harap dan takut ini
maka timbul berbagai dampak
yang membahayakan. Di antara
dampaknya adalah; [1] terlena
dengan curahan nikmat
sehingga lalai dari
mensyukurinya, [2] sibuk
mengumpulkan ilmu namun
lalai dari mengamalkannya, [3]
cepat terseret dalam dosa
namun lambat dalam bertaubat,
[4] terlena dengan
persahabatan dengan orang-
orang saleh namun lalai dari
meneladani mereka, [5] dunia
pergi meninggalkan mereka
namun mereka justru senantiasa
mengejarnya, [6] akherat
datang menghampiri mereka
namun mereka justru tidak
bersiap-siap untuk
menyambutnya. Ibnul Qayyim
rahimahullah menerangkan
bahwa ketiadaan rasa harap dan
takut ini bersumber dari
lemahnya keyakinan. Lemahnya
keyakinan itu timbul akibat
lemahnya bashirah/
pemahaman. Dan lemahnya
bashirah itu sendiri timbul
karena jiwa yang kerdil dan
rendah (lihat al-Fawa’id, hal.
170).
Bersihkan Jiwamu!
Jiwa yang kerdil dan rendah
akan merasa puas dengan
perkara-perkara yang hina,
sementara jiwa yang besar dan
mulia tentu hanya akan puas
dengan perkara-perkara yang
mulia (lihat al-Fawa’id, hal.
170). Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh
berbahagia orang yang
menyucikan jiwanya dan
sungguh merugi orang yang
mengotorinya. ” (QS. asy-
Syams: 9-10). Syaikh as-Sa’di
rahimahullah berkata, “Yaitu
orang yang menyucikan jiwanya
dari dosa-dosa dan
membersihkannya dari aib-aib,
lalu dia meninggikannnya
dengan ketaatan kepada Allah
serta memuliakannya dengan
ilmu yang bermanfaat dan amal
saleh. ” (Taisir al-Karim ar-
Rahman, hal. 926). Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata,
“ Yang dimaksud penyucian di
sini ialah dia menyucikan dirinya
dengan cara membebaskannya
dari syirik dan noda-noda
maksiat, sehingga jiwanya
menjadi suci dan
bersih. ” (Tafsir Juz ‘Amma,
hal. 165)
Dari sinilah, kita menyadari
betapa besar peran ilmu yang
diamalkan. Oleh sebab itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajarkan kepada
kita untuk senantiasa berdoa
seusai sholat Subuh dengan doa
yang sangat indah, Allahumma
inni as ’aluka ‘ilman nafi’an
wa rizqan thayyiban wa
‘ amalan mutaqabbalan. Yang
artinya; “Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu ilmu yang
bermanfaat, rezki yang baik, dan
amalan yang diterima. ” (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga bersabda,
“ Barangsiapa yang
dikehendaki baik oleh Allah
niscaya akan dipahamkan dalam
urusan agamanya. ” (HR.
Bukhari dan Muslim). Sedangkan
ilmu dan pemahaman seorang
hamba tentang agamanya
diukur dengan rasa takutnya
kepada Allah. Allah ta ’ala
berfirman (yang artinya),
“ Sesungguhnya yang merasa
takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah
orang-orang yang
berilmu. ” (QS. Fathir: 28). Ibnu
Mas’ud radhiyallahu’anhu
berkata, “Cukuplah rasa takut
kepada Allah sebagai bukti ilmu
-seseorang-. ”
Penulis: Abu Mushlih Ari
Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Saran dan Kritik anda. .